I LOVE PONTIANAK, KAMEK CINTE KOTE PONTIANAK
(artikel karya : Dessy Ryanti Purwaningtyas)
Kota Pontianak..
Kota kelahiranku yang dari dulu paling damai dan tentram..
Kotanya cantik ramai penduduknya..
Itulah kotaku, Kota Pontianak..
(Keraton Kesultanan Kadriyah Sultan Syarief Abdurahman Al-Kadrie Melayu Kota Pontianak, Kalimantan Barat)
Kota Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurahman Alkadrie pada hari Rabu, 23 Oktober 1771
(14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan
Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk
mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1778 (1192
H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak.
Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami' (kini
bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariah yang
sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur.
Sejarah pendirian menurut V.J. Verth
Sejarah pendirian kota Pontianak yang dituliskan oleh seorang sejarawan Belanda, V.J. Verth dalam bukunya Borneos Wester Afdeling,
yang isinya sedikit berbeda dari versi cerita yang beredar di kalangan
masyarakat saat ini.
Menurutnya, Belanda mulai masuk ke
Pontianak tahun 1194 Hijriah (1773 Masehi) dari
Batavia. Verth menulis bahwa Syarif Abdurrahman, putra ulama Syarif Hussein Ibn Ahmed Alqadrie
(atau dalam versi lain disebut sebagai Al Habib Husin), meninggalkan Kerajaan
Mem dan mulai merantau. Di wilayah Banjarmasin, ia menikah dengan adik Sultan
Banjar Sunan Nata Alam dan dilantik sebagai Pangeran. Ia berhasil dalam
perniagaan dan mengumpulkan cukup modal untuk mempersenjatai kapal pencalang
dan perahu lancangnya, kemudian ia mulai melakukan perlawanan terhadap
penjajahan Belanda.
Dengan bantuan Sultan Pasir, Syarif Abdurrahman kemudian berhasil membajak
kapal Belanda di dekat Bangka, juga kapal Inggris dan Perancis di Pelabuhan
Pasir. Abdurrahman menjadi seorang kaya dan kemudian mencoba mendirikan
pemukiman di sebuah pulau di Sungai Kapuas. Ia menemukan percabangan Sungai
Landak dan kemudian mengembangkan daerah itu menjadi pusat perdagangan yang
makmur. Wilayah inilah yang kini bernama Pontianak.
(Tante-tante girang bangsa Kuntilanak ini adalah asal-muasal nama Kota Pontianak loh hihi..)
Meskipun asal mula nama kota ini adalah Kuntilanak, tapi kami gak takut kok..
Kan ada meriam karbit yang bisa ngusir tuh tante-tante girang yang gaunnya selalu warna putih dan rambutnya gimbal haha..
Kalo saat menyambut bulan Ramadhan hingga bulan Syawal alias Hari Raya Idul
Fitri, Meriam Karbit sering unjuk kebolehan di area tepian Sungai Kapuas
dan sekitaran komp
lek Istana Keraton Kadriyah Pontianak yang bertempat di Kampung Beting dan Sekitarnya..
Hari Raya Idul Adha juga, Meriam Karbit ini sering di ledakkan ke Sungai
Kapuas, tujuannya sih mengusir para tante-tante Kuntilanak itu tadi hihi..(filosofi keluarga kerajaan
jaman dulu)..
(Pesta Meriam Karbit pada perayaan malam Takbiran di tepian Sungai Kapuas)
Oh.. Iya Pontianak itu letaknya di Kalimantan Barat
loh, dan mayoritas penduduk aslinya adalah Suku Melayu, Dayak dan
TiongHoa..
Kerenkan? berbeda-beda tapi tetap satu jua (filosofi Bhinneka Tunggal Ika)..
Selain beraneka ragam sukunya, adat dan budayanya juga beraneka ragam juga loh..
Salah satunya tradisi kami, khususnya warga adat suku Melayu Kalimantan Barat adalah Robo-Robo..
Pasti kalian bertanya-tanya, apa sih Robo-Robo itu? Robo-robo itu adalah upacara tolak bala yang biasa di gelar setiap hari Rabu pekan terakhir bulan Safar dalam kalender Islam Hijriyah oleh masyarakat kota Mempawah, Kab. Pontianak, Kalbar.
Pada awalnya, Robo-Robo adalah acara yang di gelar karena untuk menyambut Opu Daeng Manambon dari kerajaan Matan (Martapura) di Kabupaten Ketapang, Kabupaten Pontianak dan Kota Pontianak pada tahun 1737 M.
Opu Daeng Menambon datang ke Mempawah untuk menyebarkan agama Islam. Selain menyebarkan agama Islam, Opu Daeng Menambon juga membangun Mempawah dengan menjadi seorang raja di Kerajaan di Mempawah.
Ritual Robo-robo dimulai saat Opu Daeng Menambon beserta keluarga, serta punggawa dan pengawal berangkat dari Desa Benteng, Mempawah menggunakan Perahu bidar. Perahu Bidar adalah perahu kerajaan dari Istana Amantubilah. Kapal tersebut berlayar menuju muara sungai Mempawah yang berada Desa Kuala, Mempawah dengan jarak tempuh sekitar satu jam perjalanan. Berlayar keluarga kerajaan ini diiringi dengan 40 perahu. Saat masuk Muara Kuala Mempawah, rombongan tersebut disambut dengan suka cita oleh masyarakat Mempawah. Sambutan tersebut dilakukan dengan memasang berbagai kain warna-warni dan kertas di rumah penduduk yang berada di pinggir sungai. Karena kedatangan rombongan tersebut bertepatan dengan bulan Safar,
maka masyarakat Mempawah memperingatinya sebagi upacara tolak bala,
karena masyarakat Mempawah yakin pada bulan Safar banyak diturunkan bala.
Gitu cerita asal-muasal Robo-Robo di adat Melayu Kalbar,guys..
(upacara adat Robo-Robo Melayu Kalimantan Barat)
Masih seputaran tradisi adat Melayu Pontianak..
Silahturahmi.. Kalian semua pasti gak asing dengan kata Silahturahmi itu tadi, apalagi saat Lebaran. Beuhhh.. kalian pasti suka kan berkunjung ke rumah sanak famili, saudara dan teman. Saling memohon maaf, agar tiada lagi kesalahpahaman diantara kedua belah pihak, membuat hati penuh maaf dengan begitu bergembira di hari Raya tanpa ada dendam di jiwa, dan sangat bersemangat menyambut Hari Kemenangan.. yippieee.. hihi
Tapi ada tradisi berbeda saat kalian ber-Lebaran di Kota Pontianak loh, silahturahmi-nya itu bisa sampai berakhirnya bulan Syawal loh. Lama banget kan? hihi..
Gimana gak lama coba lebaran di Pontianak? Silahtrurahmi ber-Lebaran di sini kan bales-balesan, misalnya.. Hari ini Si A silahturahmi ke rumah Si B, besoknya gantian Si B ke rumah Si A..
Bayangkan kalo sanak famili, saudara dan teman-teman kita rame, beuhh.. bakalan lama tuh lebaranan ke rumah mereka satu per satu hihi.. Tapi walaupun begitu, teteeeppp.. Lebaran di Pontianak itu lebih melekat tali silahturahmi dan persaudaraannya, dan gak bakal ketemu di tempat lain kecuali hanya di Kota Pontianak tercinta..
(Ini adalah suasana silahturahmi Lebaran di Pontianak, suasana Lebaranku bareng Alumni SDI Bawamai Pontianak Angkatan 1 th. 2006/2007)
Kota Pontianak juga tempat melintangnya garis lurus 0 derajat, yang biasa kami sebut Garis Khatulistiwa..
Sebuah kebanggan bahwa kota tercinta ku ini adalah adalah salah satu ikon Garis 0 di Bumi dan wisata Tanpa Bayangan satu-satunya di Indonesia, yaitu Kota Pontianak.
Hanya ada 12 negara di dunia yang dilintasi garis khatulistiwa. Namun
hanya ada 1 kota yang persis memisahkan belahan bumi utara dan selatan,
yakni Pontianak. Anda tepat di titik tersebut saat mengunjungi Tugu
Khatulistiwa. Monumen yang gak boleh kamu lewati saat berkunjung ke Kota Pontianak.
Tugu Khatulistiwa terletak di Jalan Khatulistiwa, Pontianak, Kalimantan
Barat. Inilah garis lintang nol derajat bumi, garis yang tepat membelah
bumi bagian selatan dan bagian utara. Tugu yang asli, berukuran lebih
kecil, terdapat di dalam komplek bangunan Tugu Khatulistiwa berukuran
besar.
Setiap tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September, Tugu Khatulistiwa
menjadi lokasi Hari Kulminasi Matahari. Titik kulminasi merupakan titik
di mana matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa. Saat fenomena
alam ini berlangsung, bayangan tugu akan 'menghilang' selama beberapa
detik meskipun diterpa sinar matahari.
Demikian juga dengan
bayangan benda-benda lainnya di sekitar Tugu Khatulistiwa. Ini menjadi
tontonan sekaligus wisata mengasyikkan bagi warga Pontianak dan
wisatawan lainnya. Tak sedikit dari pengunjung yang melihat bayangan
mereka sendiri menghilang pada saat hari kulminasi ini.
Tak hanya
itu, wisatawan juga bisa 'melintasi' garis khatulistiwa kemudian
mendapatkan sertifikat. Dalam sertifikat berjudul 'Piagam Perlintasan
Khatulistiwa' itu, tercatat nama serta tanggal dan jam kita melintasi
garis khatulistiwa.
Tak ayal, Tugu Khatulistiwa menjadi destinasi
wajib wisatawan di ibukota Kalimantan Barat tersebut. Jangan lupa
mampir ya, masuk tugu ini tak dipungut biaya sepeser pun!
(Inilah Tugu Khatulistiwa, Ikon kebanggaan kota Pontianak Tanpa Bayangan dan Melintang garis 0 derajat di Indonesia)
Dan selain itu juga, kalian kudu mesti wajib singgah ke Sungai terpanjang di Indonesia di kota ini..
Kalian pasti gak asing dengan Sungai Kapuas.. kalo kalian pernah belajar Sejarah pasti tau dengan sungai fenomenal yang satu ini.. hihi
Sungai Kapuas terletak di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Sungai ini memiliki panjang mencapai 1.143 km. (panjang banget kan ya? hihi..)
Tak ayal kalo sungai ini di nobatkan sebagai Sungai Terpanjang di Indonesia, dan merupakan ikon kebanggaan warga kota Pontianak..
Nama sungai Kapuas diambil dari nama daerah Kapuas (sekarang Kapuas Hulu) sehingga nama sungai yang mengalir dari Kapuas Hulu hingga muaranya disebut sungai Kapuas, namun Kesultanan Banjar menyebutnya Batang Lawai yang mengacu pada nama daerah Lawie atau Lawai (sekarang Kabupaten Melawi)
sehingga nama sungai yang mengalir dari Kabupaten Melawi hingga
muaranya di sekitar kota Pontianak disebut Sungai/Batang Lawai.
Sungai Kapuas merupakan rumah dari lebih 700 jenis ikan dengan
sekitar 12 jenis ikan langka dan 40 jenis ikan yang terancam punah.
Potensi perikanan air tawar di sungai Kapuas adalah mencapai 2 juta ton.
Hutan yang masih terlindungi dengan baik menyebabkan sungai Kapuas terjaga kelestariannya.
Namun , belakangan ini sungai Kapuas telah tercemar logam berat dan berbagai jenis bahan kimia, akibat aktivitas penambangan emas dan perak di bagian tengah sungai ini. Walaupun telah mengalami pencemaran oleh
logam berat, Sungai Kapuas tetap menjadi urat nadi bagi kehidupan
masyarakat (terutama suku Dayak dan Melayu di sepanjang aliran sungai. Sebagai sarana transportasi yang murah,
Sungai Kapuas dapat menghubungkan daerah satu ke daerah lain di wilayah
Kalimantan Barat, dari pesisir Kalimantan Barat sampai ke daerah
pedalaman Putussibau dihulu sungai ini . Dan selain itu, sungai Kapuas juga merupakan sumber
mata pencaharian untuk menambah penghasilan keluarga dengan menjadi
nelayan/penangkap ikan secara tradisional. Sosial Budaya masyarakat
Sungai Kapuas perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengingat pesatnya
kemajuan teknologi dan informasi dapat memengaruhi pola berpikir
masyarakat di sekitar aliran sungai Kapuas.
Untuk menikmati Keindahan sungai kapuas dan melihat secara langsung
kegiatan masyarakat disetiap pesisirnya ini, anda bisa menggunakan kapal
wisata yang terparkir di taman alun kapuas, jalan rahadi oesman
pontianak atau di cafe serasan, pontianak timur. Kapal wisata tersebut
akan membawa anda / wisatawan / turis mengarungi keindahan kota
pontianak dengan rute taman alun kapuas melewati masjid jami sultan
syarif abburrahman alkadri, jembatan kapuas satu hingga cafe serasan dan
kembali lagi ketempat di mana anda naik. Untuk dapat berlayar dengan
Kapal wisata sungai kapuas ini, anda akan dikenakan biaya Rp10000 [tarif
kapal wisata di taman alun kapuas] hingga Rp 15000 [tarif kapal wisata
di cafe serasan, pontianak timur].
Berikut adalah beberapa kegiatan yang sering dilakukan di sungai kapuas.
1. Kalbar Regatta
2. Festival Kapal Hias
3. Tari Melayu diatas SAMPAN
4. Wisata Sungai Kapuas
5. Meriam Karbit
6. Upacara Adat
7. MANDI U-SHI
8. Taman Alun Kapuas Pontianak yang CANTIK
9. Budidaya Ikan Mas dan Nila
Sungai Kapuas yang lain juga terdapat di provinsi Kalimantan Tengah, tepatnya di Kabupaten Kapuas. Sungai ini membentang sepanjang kurang lebih 610 km, dari kecamatan Kapuas Hulu sampai kecamatan Selat yang akhirnya bermuara dilaut Jawa.
(Inilah potret Sungai Kapuas, Kota Pontianak, Kalimantan Barat dari atas udara)
Setelah masyarat suku Melayu, kita beralih ke masyarakat adat suku Dayak dan Tionghoa yang juga masyarakat asli dari Kota Pontianak kita tercinta..
Next..
(pakaian adat dayak pria di perankan
oleh model, lokasi pemotretan - Rumah Adat Radangk Dayak
Kota Pontianak, Kalimantan
Barat)
Diperkirakan di Kalimantan Barat memiliki
suku-suku dayak yang terbanyak. Pada satu kabupaten saja ditemukan lebih dari
30 suku dayak yang memiliki tradisi dan budaya masing-masing, dan saling
berbeda.
Suku Dayak
, adalah sebagai bangsa Proto
Malayan atau salah satu suku tertua di Indonesia yang memiliki ras mongoloid.
Keberadaan suku-suku Dayak di Kalimantan Barat ini banyak memiliki versi
yang berbeda tentang asal usul mereka. Antara satu suku dayak dengan suku dayak
lainnya, beberapa memiliki cerita asal usul yang berbeda, walaupun terdapat
juga beberapa lain yang memiliki kemiripan cerita asal usul.
Meskipun berbeda-beda dari masing-masing
kami, tapi kami tetaplah satu jua. Republik Indonesia Merdeka...
(Rumah
Adat Dayak Radangk, Kota Pontianak, Kalimantan Barat)
Dan yang terakhir, selanjutnya adalah
Masyarakat etnis Tionghoa. Yang juga merupakan salah satu masyarakat asli Kota
Pontianak kita tercinta..
Next...
(Atraksi
Naga Bersinar pada perayaan Cap Go Meh di Kota Pontianak, Kalimantan Barat)
Awal kedatangan
orang-orang Tionghoa pada abad ke-18 di Kalimantan Barat dikarenakan
paksaan dari pekerjaan menjadi buruh tambang dan perkebunan. Para
imigran Tionghoa ini mengatur sendiri jadwal kedatangan mereka sehingga
perbedaan antara etnis Tionghoa di Kalimantan Barat dengan Tionghoa yang
berada di daerah lainnya berbeda.
Kelompok imigran terbanyak di Kalimantan Barat adalah orang Tionghoa
bukan dari kalangan suku lain Negara Indonesia. Hampir semua orang
Tionghoa yang bermigrasi ke Kalimantan Barat berasal dari provinsi
Guangdong, Tiongkok selatan, sisanya orang-orang Hokkien dari propinsi
Fujian. Bahasa Tionghoa yang mereka gunakan pun beragam diantaranya ada
Hakka, Teochiu, Kanton dan Hainan.
Dua kelompok etnis terbesar di Kalimantan Barat adalah Teochiu dan
Hakka. Orang-orang Teochiu berasal dari daerah pesisir Timur Laut
Guangdong dan orang Hakka berasal dari pedalaman Fujian datang ke
Kalimantan Barat dengan penggunaan bahasa yang sama. Kelompok Hakka
merupakan kelompok perintis yang tinggal di perkampungan dan daerah
pertambangan untuk bekerja sebagai penambang, berladang dan juga menjadi
pedagang kecil. Berbeda halnya dengan kelompok Teochiu yang lebih
memilih untuk tinggal di perkotaan untuk berdagang, bahkan kini kelompok
Teochiu membentuk populasi terbesar etnis Tionghoa di kota Pontianak
dan daerah Selatan Pontianak. Kelompok Hakka sendiri menempati daerah
Utara kota Pontianak.
Sejak tahun 1811 Pontianak merupakan kota transit orang-orang Tionghoa
ketika datang ke Kalimantan Barat, yang nantinya akan menyebar ke
daerah-daerah pedalaman sekitarnya. Berdasarkan penelitian Burn yang
dikutip oleh Mary Somers, menyatakan bahwa Pontianak pada saat menjadi
pusat perdagangan di pantai Barat merupakan kota dengan banyak penyedia
jasa. Orang Tionghoa memiliki peranan penting bagi kota Pontianak, namun
tidak semua dari mereka adalah pekerja keras, atau sehemat dan sekaya
pedagang Bugis. Jumlah populasi orang Bugis yang hidup bersama dengan
orang Tionghoa berkisar antara1000-an orang ditambah jumlah orang melayu
sekitar 3000-an orang dan 100-an orang Arab.[iv] Kebanyakan para buruh
Tionghoa menghabiskan uangnya untuk membeli makanan-makanan enak,
berjudi dan menghisap candu. Hanya sedikit buruh yang menabung hasil
kerjanya untuk biaya kepulangan mereka ke Tiongkok atau mengirim uang
kepada keluarganya di sana.
Etnis Tionghoa membentuk pusat perdagangan di kota yang terletak di
tepian sungai Kapuas ini. Selain sebagai tempat berdagang, pasar yang
dibangun itu juga digunakan sebagai tempat tinggal. Tidak hanya di kota
Pontianak, permukiman Tionghoa dan pusat perdangan pun juga ada di
Kampung Baru (sekarang bernama Siantan).
Pemilihan tempat tinggal juga bagian dari karakteristik para imigran
etnis luar Indonesia. Seperti orang-orang Tionghoa yang tinggal terpisah
dengan orang-orang Melayu dan Arab Orang-orang Melayu dan Arab
cenderung memilih bermukim dekat dengan istana sultan yang terletak di
antara Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Hal ini tidak hanya terjadi di
kota Pontianak saja, melainkan di kota-kota kecil di Kalimantan Barat.
Hingga saat ini pun orang-orang Tionghoa di Kalimantan Barat khususnya
kota Pontianak sendiri, masih hidup secara berkelompok. Namun, tidak
jarang pula sebagian dari mereka sudah dapat membaur dan tinggal di satu
daerah dengan orang-orang Melayu, Arab dan Bugis. Sampai saat ini pun
mereka masih bekerja sebagai pedagang dan penyedia jasa yang sukses.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/medialawas/masyarakat-tionghoa-pontianak_54f91b38a3331135028b472b
Awal kedatangan
orang-orang Tionghoa pada abad ke-18 di Kalimantan Barat dikarenakan
paksaan dari pekerjaan menjadi buruh tambang dan perkebunan. Para
imigran Tionghoa ini mengatur sendiri jadwal kedatangan mereka sehingga
perbedaan antara etnis Tionghoa di Kalimantan Barat dengan Tionghoa yang
berada di daerah lainnya berbeda.
Kelompok imigran terbanyak di Kalimantan Barat adalah orang Tionghoa
bukan dari kalangan suku lain Negara Indonesia. Hampir semua orang
Tionghoa yang bermigrasi ke Kalimantan Barat berasal dari provinsi
Guangdong, Tiongkok selatan, sisanya orang-orang Hokkien dari propinsi
Fujian. Bahasa Tionghoa yang mereka gunakan pun beragam diantaranya ada
Hakka, Teochiu, Kanton dan Hainan.
Dua kelompok etnis terbesar di Kalimantan Barat adalah Teochiu dan
Hakka. Orang-orang Teochiu berasal dari daerah pesisir Timur Laut
Guangdong dan orang Hakka berasal dari pedalaman Fujian datang ke
Kalimantan Barat dengan penggunaan bahasa yang sama. Kelompok Hakka
merupakan kelompok perintis yang tinggal di perkampungan dan daerah
pertambangan untuk bekerja sebagai penambang, berladang dan juga menjadi
pedagang kecil. Berbeda halnya dengan kelompok Teochiu yang lebih
memilih untuk tinggal di perkotaan untuk berdagang, bahkan kini kelompok
Teochiu membentuk populasi terbesar etnis Tionghoa di kota Pontianak
dan daerah Selatan Pontianak. Kelompok Hakka sendiri menempati daerah
Utara kota Pontianak.
Sejak tahun 1811 Pontianak merupakan kota transit orang-orang Tionghoa
ketika datang ke Kalimantan Barat, yang nantinya akan menyebar ke
daerah-daerah pedalaman sekitarnya. Berdasarkan penelitian Burn yang
dikutip oleh Mary Somers, menyatakan bahwa Pontianak pada saat menjadi
pusat perdagangan di pantai Barat merupakan kota dengan banyak penyedia
jasa. Orang Tionghoa memiliki peranan penting bagi kota Pontianak, namun
tidak semua dari mereka adalah pekerja keras, atau sehemat dan sekaya
pedagang Bugis. Jumlah populasi orang Bugis yang hidup bersama dengan
orang Tionghoa berkisar antara1000-an orang ditambah jumlah orang melayu
sekitar 3000-an orang dan 100-an orang Arab.[iv] Kebanyakan para buruh
Tionghoa menghabiskan uangnya untuk membeli makanan-makanan enak,
berjudi dan menghisap candu. Hanya sedikit buruh yang menabung hasil
kerjanya untuk biaya kepulangan mereka ke Tiongkok atau mengirim uang
kepada keluarganya di sana.
Etnis Tionghoa membentuk pusat perdagangan di kota yang terletak di
tepian sungai Kapuas ini. Selain sebagai tempat berdagang, pasar yang
dibangun itu juga digunakan sebagai tempat tinggal. Tidak hanya di kota
Pontianak, permukiman Tionghoa dan pusat perdangan pun juga ada di
Kampung Baru (sekarang bernama Siantan).
Pemilihan tempat tinggal juga bagian dari karakteristik para imigran
etnis luar Indonesia. Seperti orang-orang Tionghoa yang tinggal terpisah
dengan orang-orang Melayu dan Arab Orang-orang Melayu dan Arab
cenderung memilih bermukim dekat dengan istana sultan yang terletak di
antara Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Hal ini tidak hanya terjadi di
kota Pontianak saja, melainkan di kota-kota kecil di Kalimantan Barat.
Hingga saat ini pun orang-orang Tionghoa di Kalimantan Barat khususnya
kota Pontianak sendiri, masih hidup secara berkelompok. Namun, tidak
jarang pula sebagian dari mereka sudah dapat membaur dan tinggal di satu
daerah dengan orang-orang Melayu, Arab dan Bugis. Sampai saat ini pun
mereka masih bekerja sebagai pedagang dan penyedia jasa yang sukses.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/medialawas/masyarakat-tionghoa-pontianak_54f91b38a3331135028b472b
Awal kedatangan
orang-orang Tionghoa pada abad ke-18 di Kalimantan Barat dikarenakan
paksaan dari pekerjaan menjadi buruh tambang dan perkebunan. Para
imigran Tionghoa ini mengatur sendiri jadwal kedatangan mereka sehingga
perbedaan antara etnis Tionghoa di Kalimantan Barat dengan Tionghoa yang
berada di daerah lainnya berbeda.
Kelompok imigran terbanyak di Kalimantan Barat adalah orang Tionghoa
bukan dari kalangan suku lain Negara Indonesia. Hampir semua orang
Tionghoa yang bermigrasi ke Kalimantan Barat berasal dari provinsi
Guangdong, Tiongkok selatan, sisanya orang-orang Hokkien dari propinsi
Fujian. Bahasa Tionghoa yang mereka gunakan pun beragam diantaranya ada
Hakka, Teochiu, Kanton dan Hainan.
Dua kelompok etnis terbesar di Kalimantan Barat adalah Teochiu dan
Hakka. Orang-orang Teochiu berasal dari daerah pesisir Timur Laut
Guangdong dan orang Hakka berasal dari pedalaman Fujian datang ke
Kalimantan Barat dengan penggunaan bahasa yang sama. Kelompok Hakka
merupakan kelompok perintis yang tinggal di perkampungan dan daerah
pertambangan untuk bekerja sebagai penambang, berladang dan juga menjadi
pedagang kecil. Berbeda halnya dengan kelompok Teochiu yang lebih
memilih untuk tinggal di perkotaan untuk berdagang, bahkan kini kelompok
Teochiu membentuk populasi terbesar etnis Tionghoa di kota Pontianak
dan daerah Selatan Pontianak. Kelompok Hakka sendiri menempati daerah
Utara kota Pontianak.
Sejak tahun 1811 Pontianak merupakan kota transit orang-orang Tionghoa
ketika datang ke Kalimantan Barat, yang nantinya akan menyebar ke
daerah-daerah pedalaman sekitarnya. Berdasarkan penelitian Burn yang
dikutip oleh Mary Somers, menyatakan bahwa Pontianak pada saat menjadi
pusat perdagangan di pantai Barat merupakan kota dengan banyak penyedia
jasa. Orang Tionghoa memiliki peranan penting bagi kota Pontianak, namun
tidak semua dari mereka adalah pekerja keras, atau sehemat dan sekaya
pedagang Bugis. Jumlah populasi orang Bugis yang hidup bersama dengan
orang Tionghoa berkisar antara1000-an orang ditambah jumlah orang melayu
sekitar 3000-an orang dan 100-an orang Arab.[iv] Kebanyakan para buruh
Tionghoa menghabiskan uangnya untuk membeli makanan-makanan enak,
berjudi dan menghisap candu. Hanya sedikit buruh yang menabung hasil
kerjanya untuk biaya kepulangan mereka ke Tiongkok atau mengirim uang
kepada keluarganya di sana.
Etnis Tionghoa membentuk pusat perdagangan di kota yang terletak di
tepian sungai Kapuas ini. Selain sebagai tempat berdagang, pasar yang
dibangun itu juga digunakan sebagai tempat tinggal. Tidak hanya di kota
Pontianak, permukiman Tionghoa dan pusat perdangan pun juga ada di
Kampung Baru (sekarang bernama Siantan).
Pemilihan tempat tinggal juga bagian dari karakteristik para imigran
etnis luar Indonesia. Seperti orang-orang Tionghoa yang tinggal terpisah
dengan orang-orang Melayu dan Arab Orang-orang Melayu dan Arab
cenderung memilih bermukim dekat dengan istana sultan yang terletak di
antara Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Hal ini tidak hanya terjadi di
kota Pontianak saja, melainkan di kota-kota kecil di Kalimantan Barat.
Hingga saat ini pun orang-orang Tionghoa di Kalimantan Barat khususnya
kota Pontianak sendiri, masih hidup secara berkelompok. Namun, tidak
jarang pula sebagian dari mereka sudah dapat membaur dan tinggal di satu
daerah dengan orang-orang Melayu, Arab dan Bugis. Sampai saat ini pun
mereka masih bekerja sebagai pedagang dan penyedia jasa yang sukses.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/medialawas/masyarakat-tionghoa-pontianak_54f91b38a3331135028b472b
Awal kedatangan
orang-orang Tionghoa pada abad ke-18 di Kalimantan Barat dikarenakan
paksaan dari pekerjaan menjadi buruh tambang dan perkebunan. Para
imigran Tionghoa ini mengatur sendiri jadwal kedatangan mereka sehingga
perbedaan antara etnis Tionghoa di Kalimantan Barat dengan Tionghoa yang
berada di daerah lainnya berbeda.
Kelompok imigran terbanyak di Kalimantan Barat adalah orang Tionghoa
bukan dari kalangan suku lain Negara Indonesia. Hampir semua orang
Tionghoa yang bermigrasi ke Kalimantan Barat berasal dari provinsi
Guangdong, Tiongkok selatan, sisanya orang-orang Hokkien dari propinsi
Fujian. Bahasa Tionghoa yang mereka gunakan pun beragam diantaranya ada
Hakka, Teochiu, Kanton dan Hainan.
Dua kelompok etnis terbesar di Kalimantan Barat adalah Teochiu dan
Hakka. Orang-orang Teochiu berasal dari daerah pesisir Timur Laut
Guangdong dan orang Hakka berasal dari pedalaman Fujian datang ke
Kalimantan Barat dengan penggunaan bahasa yang sama. Kelompok Hakka
merupakan kelompok perintis yang tinggal di perkampungan dan daerah
pertambangan untuk bekerja sebagai penambang, berladang dan juga menjadi
pedagang kecil. Berbeda halnya dengan kelompok Teochiu yang lebih
memilih untuk tinggal di perkotaan untuk berdagang, bahkan kini kelompok
Teochiu membentuk populasi terbesar etnis Tionghoa di kota Pontianak
dan daerah Selatan Pontianak. Kelompok Hakka sendiri menempati daerah
Utara kota Pontianak.
Sejak tahun 1811 Pontianak merupakan kota transit orang-orang Tionghoa
ketika datang ke Kalimantan Barat, yang nantinya akan menyebar ke
daerah-daerah pedalaman sekitarnya. Berdasarkan penelitian Burn yang
dikutip oleh Mary Somers, menyatakan bahwa Pontianak pada saat menjadi
pusat perdagangan di pantai Barat merupakan kota dengan banyak penyedia
jasa. Orang Tionghoa memiliki peranan penting bagi kota Pontianak, namun
tidak semua dari mereka adalah pekerja keras, atau sehemat dan sekaya
pedagang Bugis. Jumlah populasi orang Bugis yang hidup bersama dengan
orang Tionghoa berkisar antara1000-an orang ditambah jumlah orang melayu
sekitar 3000-an orang dan 100-an orang Arab.[iv] Kebanyakan para buruh
Tionghoa menghabiskan uangnya untuk membeli makanan-makanan enak,
berjudi dan menghisap candu. Hanya sedikit buruh yang menabung hasil
kerjanya untuk biaya kepulangan mereka ke Tiongkok atau mengirim uang
kepada keluarganya di sana.
Etnis Tionghoa membentuk pusat perdagangan di kota yang terletak di
tepian sungai Kapuas ini. Selain sebagai tempat berdagang, pasar yang
dibangun itu juga digunakan sebagai tempat tinggal. Tidak hanya di kota
Pontianak, permukiman Tionghoa dan pusat perdangan pun juga ada di
Kampung Baru (sekarang bernama Siantan).
Pemilihan tempat tinggal juga bagian dari karakteristik para imigran
etnis luar Indonesia. Seperti orang-orang Tionghoa yang tinggal terpisah
dengan orang-orang Melayu dan Arab Orang-orang Melayu dan Arab
cenderung memilih bermukim dekat dengan istana sultan yang terletak di
antara Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Hal ini tidak hanya terjadi di
kota Pontianak saja, melainkan di kota-kota kecil di Kalimantan Barat.
Hingga saat ini pun orang-orang Tionghoa di Kalimantan Barat khususnya
kota Pontianak sendiri, masih hidup secara berkelompok. Namun, tidak
jarang pula sebagian dari mereka sudah dapat membaur dan tinggal di satu
daerah dengan orang-orang Melayu, Arab dan Bugis. Sampai saat ini pun
mereka masih bekerja sebagai pedagang dan penyedia jasa yang sukses.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/medialawas/masyarakat-tionghoa-pontianak_54f91b38a3331135028b472b
JUMLAH
penduduk Provinsi Kalimantan Barat tahun 2014 sekitar 4,716 juta jiwa.
Mereka ini mendiami wilayah sebesar 146.807 Km2 atau kurang lebih 32
jiwa per kilometer persegi. Ada banyak etnis yang bermukim di provinsi
ini. Tiga di antaranya: Melayu, Dayak dan Tionghoa dianggap suku-suku
mayoritas. Sayang, Kalimantan Barat dalam Angka 2015 (BPS Provinsi
Kalimantan Barat, Katalog BPS : 1102001.61) tidak merinci penduduk
Kalimantan Barat menurut etnis, sehingga data mutakhir tentang jumlah
penduduk Tionghoa di Kalimantan Barat tidak didapatkan.
Keberadaan etnis Tionghoa di Kalimantan Barat juga menjadi salah satu
hal yang menunjukan kekhasan provinsi Kalimantan Barat karena julmahnya
jauh lebih besar dibandingkan di empat provinsi Kalimantan yang lain
(Kalimantan Wikipedia). Selain itu, orang Tionghoa Kilamantan Barat itu
unik di antara orang Tionghoa di wiliayah lain Indonesia. Secara umum
orang Tionghoa Indonesia digambarkan sebagai orang yang mapan secara
ekonomi, bahkan dikelompokkan sebagai orang kaya atau pengusaha. Namun,
gambaran itu serta merta berubah bagi orang Tionghoa di Kalimantan
Barat. Orang Tionghoa Kalimantan Barat menempati beragam lapangan
pekerjaan dan strata sosial ekonomi, dari yang sangat rendah (baca:
pengemis) hingga yang sangat tinggi (baca: pemilik perusahaan
transnasional). Orang Tionghoa Kalimantan Barat juga sudah jauh dari
eksklusifvisme. Di awal era Orde Baru banyak orang Tionghoa yang,
bahkan, menikah dengan etnis yang lain. Pembauran antara Pribumi dan
Non-pribumi di Kalimantan Barat sungguh nyata (Leo Sutrisno, 1974).
Sekian artikel ku mengenai kota kelahiranku nan indah ini, Kota Pontianak Bumi Khatulistiwa..
Thanks buat semua temen-temen yang udah ngunjungin blog gue yang sederhana ini..
Semoga blog gue ini bisa jadi salah satu wadah sharing-sharing kita mengenai hal-hal sekitar kita..
Yang ternyata masih banyak lagi yang perlu kita ketahui lebih detail..
Buat temen-temen semua..
Ingat! Pesona Indonesia itu indah, luas, dan beraneka ragam..
Daripada liburan jauh-jauh ke luar negeri mendingan kita explore deh pelosok bumi ibu Pertiwi ini..
Sungguh lebih indah dan menakjubkan loh..
Apalagi kalian milih Kota Pontianak sebagai tempat liburan mengasyikkan tahun ini..
Beuhhhh.. super duper oke deh guysss... Gue tunggu kalian ya di Pontianak liburan tahun ini..
"AWAK DATANG, KAME' SAMBOT.. DI KOTE PONTIANAK TERCINTE"
I LOVE PONTIANAK, KAMEK CINTE KOTE PONTIANAK
- THE END -
Refrensi Artikel :
My Experience (Tyas)
Tradisi & Adat Kalimantan Barat
Wikipedia Indonesia
Kompasnesia
Pontianak Post
Planet Dayak